OPINI  

Representasi Moral-spiritual dan Budaya Suku Bugis Dalam Film Tarung Sarung

Oleh : Chairunifa Wardayaning Putri
Program Studi Sosiologi Universitas Bangka Belitung

ERANEWS.CO.ID — Indonesia memiliki beragam suku dan kebudayan yang khas di setiap daerahnya. Setiap masyarakat adat tentu memiliki suatu aturan yang dimana didalamnya diajarkan mengenai prinsip hidup, nilai, norma, dan cara beretika. Ajaran tersebut kemudian dilegitimasi melalui praktik-praktik sosial secara terus menerus.

Sistem nilai budaya seperti ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dari adat-istiadat, bagaimana adat istiadat kemudian menekan moralitas sebagai utlitas paling utama.

Konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pemikiran sebagian besar masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi atau berorientasi pada nilai sosial masyarakatnya.

Suku bugis merupakan masyarakat adat dengan beberapa konsep tentang aturan perilaku dalam ruang lingkup sosial.

Sebagaimana representasi pada film Tarung Sarung  yang disutradai oleh Archie Hekagery melalui rumah Produksi Starvision Plus yang menghadirkan beragam corak nilai spritualitas-moral agama dan adat istiadat suku bugis.

Film tersebut tidak hanya mengangkat tentang adegan adu laga antara tokoh utama baik protagonis maupun antagonis. Film Tarung Sarung lebih memberikan keterangan kepada penonton bahwa suku bugis mempunyai cara untuk menyelesaikan masalah diantara dua orang pria. Namun Tarung Sarung bukan dijadikan ajang untuk melakukan balas dendam.

Pria yang dihadapkan dengan masalah pribadi akan menyelesaikannya dalam satu sarung dan bertarung bebas. Tak jarang yang mengalami luka-luka bahkan kematian diantara salah satunya. Sebagaimana yang terjadi dengan tokoh utama Deni, harus berhadapan dengan tokoh protagonis yakni Sanrego.

Berdasarkan alur cerita, siapapun yang terlibat dengan Sanrego tidak akan pernah selamat.
Pada awalnya, Deni memiliki latar belakang sebagai anak dari orang kaya dan memiliki perusahaan besar di Indonesia.

Deni punya kelakuan yang kurang baik, seperti yang dijelaskan oleh Ibunya bahwa ia sangat mudah menggampangkan sebuah masalah dan selalu bertindak sesuka hati. Lebih buruknya Deni selalu beranggapan bahwa dengan uang, setiap masalah akan selesai dan mengabaikan Tuhan dalam setiap urusannya. Deni menganggap bahwa Tuhan tidak pernah hadir dalam setiap masalahnya.

Dari hal tersebut, Ibu Deni mengirimnya ke Makassar untuk menjalankan anak cabang dari proyek perusahaan. Seketika sampainya Deni di Makassar, ia bertemu dengan seorang perempuan bernama Tenri dan sekaligus merupakan sosok aktivis lingkungan. Deni menaruh rasa suka kepada Tenri. Di saat yang bersamaan, Tenri dihadapkan masalah karena ia akan dinikahkan dengan Sanrego walaupun pada dasarnya Tenri tidak menyukainya.

Sanrego adalah juara bertahan bela diri Tarung Sarung dan memenangkan pertarungan secara terus menerus. Deni secara terang-terangan melakukan sogokan sejumlah uang kepada Sanrego agar ia batal menikahi Tenri.

Namun hal tersebut ditolak oleh Sanrego dan menawarkan untuk bertarung agar bisa memperebutkan Tenri. Cara yang bisa dilakukan agar Tenri tidak dinikahkan dengan Sanrego yakni dengan duel Tarung Sarung.

Mengambil langkah berbahaya tersebut, Deni mulai mencari cara agar nantinya ia bisa memenangkan pertarungan. Ia akhirnya dipertemukan dengan Khalid, sang legenda Tarung Sarung.

Kemudian Deni menjadikan Khalid sebagai gurunya dan Khalid menerima hal tersebut. Selama latihan, Sang guru banyak memberikan wejangan terutama pada moralitas anak muda yang sudah terdegradasi akibat budaya yang semakin modern.

Sang guru, menegaskan bahwa manusia harus melibatkan Tuhan dalam setiap urusannya. Tentu mendengarkan hal tersebut, Deni mulai perlahan berubah dan mengikuti apa yang dianjurkan gurunya selain berlatih secara fisik.

Setelah beberapa lama, Deni mulai terbentuk spiritualitas dan moralnya dalam beberapa scene film seperti Sholat, sabar dan tidak mudah emosi. Hal ini juga diajarkan berdasarkan adat istiadat suku bugis, bahwa masyarakat bugis sangat menjunjung tinggi rasa malu. Rasa malu yang paling besar adalah rasa malu kepada Sang Pencipta.

Sesampainya pada titik terakhir pertandingan, Deni sempat dihadapkan beberapa kesulitan untuk melawan Sanrego. Seketika ia mengingat kembali apa yang dikatakan gurunya, yakni libatkan Tuhan dalam setiap urusan.

Deni merubah orientasinya bahwa ia memenangkan pertarungan bukan karena tujuan untuk mendapatkan Tenri, namun ia memenangkan pertarungan demi harga dirinya. Hal yang bisa diambil dari Film Tarung Sarung dan sebagai pengingat bahwa sebagai seorang manusia tidak boleh sombong atas segala pencapaian serta mempunyai spiritual dalam menjalankan kehidupan.

Representasi wacana nampaknya akan lebih mudah menggunakann telaah dari gagasan Fairclough terhadap indoktrinasi wacana film kepada masyarakat diantaranya wacana teks, praktik wacana, dan praktik sosio-kultural.

Wacana memungkinkan membentuk identitas dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat. Misalnya, apa yang tertera dalam film setiap nilai intrinsik adalah bentuk kebudayaan dari suku bugis itu sendiri. Kemudian praktik-praktik dalam wacana terepresentasi berdasarkan hubungan produksi dan konsumsi teks.

Pertimbangan terhadap produksi teks dalam wacana harus melihat bagaimana pola, ruang lingkup, dinamika dan struktur sosial yang nantinya akan menentukan wacana seperti apa yang cocok untuk disebarluaskan. Setiap peristiwa yang menggunakan bahasa teks merupakan peristiwa komunikatif seperti dalam artikel, surat kabar, film, video, wawancara dan sebagainya. Sama seperti halnya dalam film, dari para audiens atau penonton kemudian memahami bagaimana nilai dari masyarakat adat suku bugis dilaksanakan dalam bentuk kehidupan sehari-hari dengan prinsip, kejujuran, menjunjung tinggi rasa malu dan pertentangan ataupun konflik harus bisa di minimalisir dengan rekonsiliasi walaupun dengan cara yang tidak biasa yakni Tarung Sarung.

Nilai yang bisa didapatkan adalah bahwa tarung sarung merupakan elegansi manusia yang menekankan prinsip eksistensi manusia. Terakhir adalah praktik sosio-kultural terhadap wacana itu sendiri. Praktik sosio-kultural tidak hanya terfokuskan pada hubungan produksi-konsumsi teks saja, namun kaitannya adalah pada terlaksananya wacana tersebut. Artinya, film tersebut telah mengubah cara pandang masyarakat khususnya terhadap perkelahian dari tarung sarung, namun lebih menekankan pada bagaimana cara mempertahankan harga diri.

(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.