Kegaduhan MBG : Tinggalkan Kateringan, Bangun Dapur Sekolah

Opini Oleh Chairul Aprizal SKM Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

OPINI, ERANEWS.CO.ID – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah sebuah program mulia. Namun sayangnya kehadiran yang menjadi kabar gembira ini justru menghadirkan kegaduhan di banyak daerah yang mulai melaksanakan.

Salah satu yang paling tersorot saat ini adalah kejadian keracunan massal yang diduga akibat mengonsumsi Makanan Bergizi Gratis yang diberikan oleh pemerintah kepada anak-anak disekolah.

Mengimplementasikan program ini sepertinya penuh dengan jalan yang berlobang selain keracunan massal, ada menu yang tidak layak, keterlambatan distribusi, sampai keluhan pihak ketiga (katering) yang kewalahan membuat kegaduhan semakin nyaring.

Akhirnya pemerintah dianggap hanya membuang-buang anggaran, program disebut gagal, pihak sekolah yang ikut disalahkan, juga anak-anak yang seharusnya menerima manfaat utama justru menjadi korban. Bahkan ada salah satu anggota DPR RI meminta agar program MBG ini distop saja, hingga muncul opsi dari Menteri Keuangan untuk menggantinya dengan pemberian beras. Masih optimis kah ? Atau sudah buntu untuk melanjutkan arah program MBG ini ?

Dalam setiap pelaksanaan program apalagi berskala besar seperti ini tentu evaluasi dan koreksi dibutuhkan. Tidak langsung menghentikan sesuatu yang sudah dimulai. Menengok dinamikanya bahwa masalah ini bukan teknis tetapi sistemik. Perlu keberanian untuk mengevaluasi model distribusi Kateringan (pihak ketiga) dan beralih konsep yang lebih sehat, terpantau lebih dekat, berdaya, dan berkelanjutan : DAPUR SEKOLAH.

Mengintip kejadian dari beberapa media seperti kompas, detik, rmol, dan lainnya keracunan massal sudah terjadi hampir diseluruh bagian daerah Indonesia. Keracunan massal di Cianjur dengan korban 78 siswa, di Sragen dengan korban 365 siswa dan guru, di Bogor dengan korban 223 murid dari 9 sekolah, video ditemukan belatung di menu MBG daerah Tuban, mitra katering (dapur umum MBG) yang alami kerugian Rp. 1 miliar karena belum dibayar, dan masalah internal Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di labuan Bajo mengakibatkan program MBG berhenti selama 2 hari.

Tentunya kejadian diatas memunculkan reaksi publik meminta agar program MBG segera dihentikan. 4000 lebih korban keracunan MBG sepanjang delapan bulan pertama pelaksanaan MBG menjadi alasan banyak lembaga pemantau meminta dihentikan bukan hanya pandangan penulis menganggap bahwa dari sini ada masalah serius. 5.626 kasus keracunan dari 17 provinsi yang disebutkan oleh organisasi CISDI mendesak agar MBG dihentikan sementara. Lembaga ICW juga menyarankan agar program dihentikan karena sering muncul masalah tata kelola, kejadian keracunan, dan pelaksanaan yang tidak jelas. Ditambah lagi lembaga pemantau lainnya seperti INDEF turut mendesak program dihentikan sementara dan dievaluasi total sebelum terjadi perluasan program pada tahun berikutnya.

Saatnya kita jujur bahwa sistem Kateringan yang diadopsi MBG ternyata membawa risiko besar bagi kesehatan, anggaran, dan keberlanjutan program.

Kateringan : Sistem Rentan

Model Kateringan (mitra pihak ketiga) memaksa dapur umum memproduksi ribuan porsi setiap hari, mengemas, lalu mendistribusikannya. Distribusi yang diharuskan tepat waktu ke sekolah sekolah yang tersebar luas wilayahnya. Teorinya tampak terkesan sederhana tapi sebenarnya pelaksanaannya rumit dan berbelit-belit. Pertama rantai distribusi panjang. Tentunya makanan pasti harus dimasak dini hari (sebelum shubuh) kemudian dibawa dalam jumlah besar. Maka risiko terkontaminasi oleh bakteri dan cepat basi pasti sangat tinggi. Kedua pengawasan terhadap kualitas lemah. Sekolah tidak mengawasi langsung karena hanya sebagai penerima. Sekolah tidak memiliki kewenangan untuk memastikan kualitas sebelum dikonsumsi siswanya.

Ketiga membuat sekolah terbebani secara psikologis. Ketika ada masalah keterlambatan atau keracunan maka sekolah terkena imbasnya (ikut disalahkan) padahal tidak ikut campur dalam mengelola produksi dan distribusi. Keempat porsinya seragam. Jauh dari kearifan lokal atau selera anak-anak di daerah tersebut (selera lokal) tentang kebiasaan makan (kebutuhan gizi spesifik). Terakhir yang kelima kecenderungan untuk tergantung sangat tinggi. Jika tiba-tiba pihak katering berhenti seketika maka tidak ada alternatif cadangan. Anak-anak bisa kehilangan jatah makan pada hari itu dan beberapa hari berikutnya seperti yang terjadi di Labuan Bajo.

Bangun Dapur Sekolah: Lebih Baik dan Sehat

Membangun Dapur Sekolah bisa menjadi opsi yang lebih baik setelah melihat pelaksanaan dengan sistem Kateringan saat ini. Dapur sekolah tampaknya menawarkan lebih banyak kelebihan dan menjawab masalah yang sudah terjadi. Kelebihan pertama produksi makanan bisa dikontrol secara langsung. Sekolah akhirnya memiliki dapur sendiri tidak sekedar kantin sekolah. Sehingga guru dan komite sekolah bisa mengawasi langsung prosesnya. Mulai dari memantau bahan baku, kebersihan, dan cara masak setiap hari. Kedua menu MBG akan lebih mudah disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Bahan makanan bisa disesuaikan dengan ketersediaan di daerah. Cara ini dapat membantu petani/nelayan/pedagang lokal dan meminimalkan biaya transportasi.

Ketiga kelebihannya mendorong pemberdayaan masyarakat. Program ini tidak hanya dirasakan oleh outsourcing atau pihak ketiga saja tapi orangtua dan masyarakat sekitar bisa dilibatkan dalam pengelolaan dapur. Sehingga terciptalah rasa memiliki, tanggung jawab, dan mengandung asas gotong royong. Keempat risiko distribusi menjadi berkurang. Karena makanan diproduksi langsung di sekolah. Tidak perlu perjalanan panjang sehingga makanan dalam kondisi lebih segar dan hangat untuk disajikan.

Kelima akan menciptakan efisiensi jangka panjang. Memang pembangunan dapur dapat menjadi investasi awal yang harus dibayarkan. Tetapi apabila melihat ini sebagai investasi kedepan maka akan membuat biaya operasional lebih rendah karena tidak lagi terus-terusan membayar pihak ketiga. Terakhir, yang keenam dapat mengedukasi gizi langsung di sekolah. Dapur sekolah bukan sebagai sarana pemenuhan gizi tetapi juga menjadi sarana edukasi (pembelajaran). Siswa dapat menyaksikan proses memasak, mempelajari bahan makanan, dan bahkan bisa ikut dilibatkan dalam kebun sekolah.

Menghentikan Kegaduhan, dan Menjawab Kekhawatiran

Sebagian orang akan mengkhawatirkan kalau membangun Dapur Sekolah membutuhkan biaya yang besar. Namun coba kita hitung kerugian yang terjadi akibat kasus keracunan massal, biaya perawatan medis, dan kerugian finansial mitra katering yang bermasalah maka investasi membangun Dapur Sekolah lebih masuk akal. Kita sebenarnya sudah punya pengalaman dengan hadirnya program kantin sehat di sekolah-sekolah. Terbukti berhasil menyediakan makanan yang higienis dengan biaya terjangkau.

Model yang mirip ini bisa ditingkatkan dengan dukungan dari pemerintah daerah dan dana MBG. Selain itu dapur sekolah bisa dibangun bertahap. Diawali dari sekolah dengan jumlah siswa paling banyak atau opsi lain daerah yang bermasalah, lalu diperluas setiap tahunnya. Pemerintah dapat bekerjasama dengan banyak elemen dengan memanfaatkan dana CSR, dana bos, atau kerjasama dengan koperasi sekolah untuk mempercepat pembangunan.

Program MBG tidak harus distop. Ini adalah ladang kebaikan untuk masa depan bangsa. Sebuah pemikiran yang cemerlang dan mulia sehingga program ini hadir maka mari kita selamatkan dari kegagalan dengan berbenah total. Tinggalkan model Kateringan yang kusut, lalu bangun dapur sekolah yang sehat, berdaya, dan berkelanjutan. Anak-anak Indonesia berhak atas gizi yang aman, segar, dan penuh kasih.

Bukan sebuah program pemenuhan gizi dan makanan yang datang dengan membawa ketakutan atas keracunan. Program ini akan menjadi warisan berharga jika berhasil memperkuat kemandirian sekolah dan memberdayakan masyarakat. Bisa dibayangkan setiap waktunya makan disekolah anak-anak mengantri dengan sistem franchise untuk memilih menu yang sudah disiapkan kemudian dikonsumsi bersama diruangan yang sudah disediakan. (EraNews/Lew)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.