Sumber gambar: James Gathany
Oleh: Naomi Amadea (Mahasiswa Semester 6 Jurusan Bioteknologi UKDW Yogyakarta)
Menurut prediksi BMKG, musim kemarau tahun ini tidak berlangsung seperti biasanya. Alih-alih kering dan minim curah hujan, sebagian besar wilayah Indonesia justru mengalami
kemarau basah.
Kondisi kemarau basah merupakan sebuah kondisi di mana musim kemarau tetap disertai hujan yang turun secara konsisten.
Untuk wilayah Belitung, musim kemarau sendiri diperkirakan baru akan dimulai pada bulan Juli, sedikit lebih lambat dibanding wilayah lain yang umumnya memasuki kemarau pada bulan Juni.
Memasuki kondisi kemarau basah ini semestinya kita semakin waspada, terutama
terkait ancaman Demam Berdarah Dengue (DBD). Iklim yang lebih hangat disertai curah
hujan ringan justru menciptakan ekosistem ideal bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti yang merupakan vektor utama penyebaran virus dengue.
Ironisnya, kemarau kerap diasosiasikan sebagai musim yang kering dengan curah hujan rendah, “aman” dari ancaman DBD sehingga masyarakat cenderung lebih santai dan abai terhadap upaya pencegahan. Padahal, data menunjukkan bahwa kasus DBD justru bisa meningkat di musim kemarau akibat kelalaian ini.
Masyarakat Belitung, dan wilayah kepulauan Bangka Belitung pada umumnya, perlu
menyadari bahwa DBD merupakan penyakit endemik yang tidak mengenal musim. Oleh
karena itu, penting untuk membangun budaya waspada dan tanggap sepanjang tahun.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab dalam pengendalian DBD? Jawabannya: kita semua.
Sinergi antara masyarakat dan pemerintah daerah tentunya sangat krusial untuk
menciptakan upaya pengendalian yang efektif dan berkelanjutan.
Sebagai masyarakat, upaya sederhana yang dapat kita lakukan secara mandiri di
rumah masing-masing ialah 3M, yaitu menutup penampungan air, menguras penampungan
air secara berkala, dan mengubur barang bekas yang berpotensi menciptakan genangan air.
Hal-hal sederhana seperti mencegah tumpukan barang-barang bekas di sekitar rumah,
serta mengurangi tumpukan pakaian di gantungan pintu juga dapat dilakukan untuk
mencegah terbentuknya sarang bagi nyamuk dewasa.
Selain itu, menghindari aktivitas di luar rumah pada waktu-waktu rawan seperti subuh dan sore hari juga dapat mengurangi risiko gigitan nyamuk Aedes aegypti yang aktif di jam-jam tersebut.
Perhatian khusus juga perlu diberikan pada masyarakat yang tinggal di wilayah perkebunan atau di sekitar kolong bekas tambang timah. Lingkungan perkebunan dengan kelembaban tinggi dan genangan air di sekitar vegetasi memberikan habitat ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang biak.
Genangan air besar di kolong tambang juga sangat potensial menjadi sarang nyamuk,
dan hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menemukan adanya larva
nyamuk Aedes aegypti pada kolong bekas tambang timah.
Dari sisi pemerintah, penting untuk tidak lagi terlalu mengandalkan fogging sebagai solusi utama. Selain hanya membunuh nyamuk dewasa dan tidak menyasar jentik, penggunaan fogging berlebihan justru berisiko menimbulkan resistansi atau kekebalan pada nyamuk terhadap bahan kimia.
Sebagai gantinya, pemerintah dapat lebih meningkatkan upaya-upaya pencegahan, seperti pengenalan dan pemantauan pelaksanaan 3M serta Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Pemerintah juga dapat memberikan himbauan
kepada pelaku penambang timah untuk menutup lubang bekas galian tambang sehingga dapat mengurangi genangan yang dapat dijadikan lahan kembang biak nyamuk.
Lebih jauh, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi teknologi Wolbachia sebagai strategi inovatif pengendalian DBD secara biologis.
Metode pengendalian ini dilakukan dengan cara menyisipkan bakteri simbiotik Wolbachia ke dalam nyamuk untuk menonaktifkan virus dengue dalam nyamuk, sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak lagi menularkan virus demam berdarah.
Tak hanya itu, penggunaan bakteri simbiotik
Wolbachia ini juga dapat menjadikan nyamuk jantan infertil, sehingga nyamuk tidak lagi
dapat berkembang biak dan menekan populasi nyamuk secara alami.
Program ini telah berhasil diuji di beberapa daerah di Jawa, termasuk Yogyakarta, dan berpotensi diterapkan juga di wilayah Belitung di kemudian hari.
Menghadapi kemarau basah bukan berarti kita lengah. Justru sebaliknya, ancaman DBD perlu dihadapi dengan langkah nyata dan kerjasama dari seluruh stakeholder.
Karena pada akhirnya, upaya melindungi kesehatan lingkungan adalah tanggung jawab bersama yang dimulai dari lingkup kecil masyarakat, didukung oleh pemerintah, dan dikuatkan oleh ilmu pengetahuan modern.
(*)