Maraknya Kasus Seksual Terhadap Anak Bawah Umur di Basel, Ini Kata Dosen Muda Sosiologi UBB

TOBOALI, ERANEWS.CO.ID- Berita serta informasi tentang kasus  kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini sering mencuat di tengah-tengah kalangan masyarakat.

Perlu diketahui, kekerasan terhadap anak bukan semata menyakiti anak secara fisik saja, namun segala bentuk perlakuan, penganiayaan yang menyakiti secara fisik, emosional, dan seksual.

Termasuk pula di dalam kekerasan terhadap anak ini melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang dapat membahayakan kesehatan, perkembangan hingga kelangsungan hidup anak.

Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB) Luna Febriani M. A,  dilansir dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) mengatakan, bahwa kekerasan terhadap anak disepanjang tahun 2023 sebanyak 24.158 kasus, mirisnya dari 24.158 kasus tersebut, sebessar 10.932 kasus merupakan kasus kekerasan seksual, lalu diikuti dengan kasus kekerasan psikis sebanyak 4.511 kasus serta kekerasan fisik terhadap anak 4.410 kasus.

“Tidak dapat dipungkiri, kekerasan terhadap anak menjadi persoalan yang mengkhawatirkan sekarang ini,” kata Luna Febriani, Senin (10/6/2024).

Begitu pula di Provinsi Kepulauan  Bangka Belitung, kasus kekerasan terhadap anak terdengar semakin sering terjadi dalam beberapa waktu belakang seperti yang terjadi di Kabupaten Bangka Selatan (Basel),  berdasarkan informasi yang didapat dalam sepekan ini telah terjadi tiga kali kasus kekerasan terhadap anak, mayoritas kasus terjadi adalah kasus kekerasan seksual.

Mengingat tingginya kasus kekerasan anak ini, sudah seharusnya di lakukan upaya pencegahan, penanganan hingga upaya-upaya yang dapat mengurangi dan memberikan efek jera bagi kasus kekerasan terhadap anak. Upaya-upaya ini diperlukan mengingat dampak signifikan yang dapat dilahirkan dari kekerasan terhadap anak.

“Adapun dampak kekerasan terhadap anak akibat kekerasan ini dapat berupa cedera fisik hingga organ reproduksi, gangguan perkembangan otak maupun syaraf yang dapat mempengaruhi terganggunya mental dan tumbuh kembang anak, terbentuknya kepribadian yang mengarah pada arah negatif hingga kematian,” ungkapnya.

Menurutnya, secara sosiologis ada banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan terhadap anak ini. Pertama dari kondisi anak itu sendiri, kondisi anak ini berkaitan dengan fisik, mental hingga kepribadian anak. Kondisi anak (baik secara fisik, mental dan kepribadian) yang tumbuh dengan baik maupun tidak atau berkebutuhan khusus masing-masing berpotensi mengalami kekerasan, maka langkah awal untuk mencegah kekerasan anak pada kondisi ini adalah dengan pemberian wawasan dan pengetahuan terkait pendidikan seksual sejak dini kepada anak.

Namun, persoalannya hal ini tidak mudah karena masyarakat masih menganggap hal ini sebagai hal yang tabu, karena yang ada dipikiran masyarakat pendidikan seksual adalah mengajarkan hubungan seksual kepada anak. Padahal, pendidikan seksual sejak dini terutama di era kemajuan teknologi ini justru dapat membantu mengembangkan pemahaman yang sehat tentang tubuh mereka, tentang rasa malu dan batasan-batasan. Sehingga jika sudah ada pemahaman yang kuat sejak dini, anak-anak dapat mengenali hingga mencegah kekerasan dapat terjadi kepada mereka.

“Pendidikan seksual menjadi salah satu faktor penting dalam memberikan pemahaman yang sehat kepada anak maupun batasan – batasan mereka,” sebutnya.

Lebih lanjut, berhubungan dengan kondisi serta  karakteristik keluarga, pada kondisi ini faktor latar belakang ekonomi dan pola asuh orang tua hingga karakteristik keluarga (tunggal, cerai, besar) dapat berkontribusi dalam kekerasan terhadap anak. Hal ini disebabkan  persoalan kesulitan ekonomi dan pola asuh yang kerap mengabaikan atau  menelantarkan anak berperan besar dalam menyumbang kekerasan terhadap anak.

Disini keluarga terutama orang tua menjadi kunci dalam pencegahan kekerasan terhadap anak, memastikan kelangsungan kehidupan anak dapat terjamin seharusnya sudah dipersiapkan saat sebelum hadirnya anak. Yakni dengan memastikan kemampuan orang tua baik secara fisik, psikis, emosional, intelektual hingga finansial menjadi kunci dasar bagi orang tua yang berencana memiliki anak sehingga anak dapat terjamin kehidupannya ketika lahir dan bertumbuh.

“Perlunya persiapan yang matang secara emosional, intelektual maupun finansial bagi orang tua yang berencana memiliki anak, agar tumbuh kembang mereka terjamin,” kata dia.

Lalu yang terakhir, lingkungan sosial tempat anak bertumbuh yang buruk. Kekerasan terhadap anak tak jarang di lakukan oleh orang-orang disekitar mereka tumbuh dan berkembang, baik orang yang mereka kenali maupun orang asing. Maka dari itu, memastikan lingkungan anak menjadi lingkungan yang aman bagi mereka adalah tugas besar dari keluarga serta  masyarakat tempat anak bertumbuh, hingga pemerintah.

Kontrol sosial serta  kebijakan-kebijakan maupun  aturan hukum perlindungan sangat anak diperlukan pada kondisi ini. Intervensi dari kebijakan, aturan hukum sifatnya mengikat diperlukan untuk membantu mengurangi dan  membuat jera pelaku kekerasan terhadap anak.

“Oleh sebab itu, hal yang terpenting adalah bagaimana orang tua benar – benar mengawasi tumbuh kembang anak serta memantau lingkungan pergaulan mereka. Hal ini guna memastikan bahwa mereka benar – benar bertumbuh kembang dengan baik, bukan hanya fisik saja, tetapi dari segi intelektual, psikis maupun emosional, menjadi stabil diusia tumbuh kembang anak,” terangnya. (EraNews/Lew)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.