BANGKA, ERANEWS.CO.ID – Seharusnya pemilihan calon kepala daerah dan wakil bisa menjadi proses demokratis yang mencerminkan kehendak rakyat. Namun, kenyataan sering kali berbicara sebaliknya. Kisruh yang kerap muncul dalam pencalonan kepala daerah ataupun wakil menggambarkan berbagai persoalan yang masih menghambat praktik demokrasi di tingkat lokal. Sehingga, beberapa faktor utama yang menyebabkan kekisruhan ini perlu menjadi bahan refleksi bagi kita semua.
Dalam sebuah demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan politik seharusnya menjadi sumber kekuatan, bukan pemecah belah. Namun, ambisi kekuasaan sering kali mengaburkan batasan etis dan memicu pemikiran negatif yang merusak tatanan sosial.
Kemudian, ketidakpuasan publik terhadap proses pemilihan kerap menjadi pemicu utama kekisruhan. Partai politik sering kali lebih mengutamakan kesetiaan dan kepentingan kelompok daripada kualitas dan integritas calon. Akibatnya, calon yang terpilih bukanlah yang terbaik menurut penilaian masyarakat, melainkan yang paling menguntungkan bagi elit partai. Hal ini menciptakan kekecewaan dan ketidakpercayaan publik terhadap proses politik.
Selanjutnya, kepentingan pribadi dan kelompok yang dominan dalam proses pencalonan sering kali mengesampingkan aspirasi rakyat. Calon yang diusung bukanlah mereka yang memiliki visi dan kemampuan untuk memajukan daerah, melainkan mereka yang memiliki koneksi kuat dengan elit politik atau pengusaha berpengaruh. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana praktik nepotisme dan korupsi masih mengakar dalam sistem politik kita.
Tak hanya itu saja, isu integritas dan reputasi calon juga menjadi sorotan. Banyak calon yang memiliki rekam jejak yang kontroversial atau bahkan terlibat dalam kasus hukum, namun tetap mendapatkan dukungan politik. Ini menunjukkan bagaimana standar etika sering kali dikompromikan demi kepentingan politik jangka pendek.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu ada komitmen kuat dari semua pihak untuk memperbaiki praktik politik di tingkat lokal. Partai politik harus lebih selektif dan objektif dalam memilih calon, serta lebih responsif terhadap aspirasi rakyat. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan agar mereka lebih kritis dan berani menyuarakan pendapat. Hanya dengan demikian, kita dapat berharap bahwa proses pemilihan calon kepala daerah dan wakil dapat berjalan dengan lebih demokratis dan mencerminkan kehendak rakyat sesungguhnya.
Menyelesaikan kekisruhan dalam pencalonan Kepala Daerah dan Wakil bukanlah tugas mudah, tetapi ini adalah langkah penting untuk memperkuat demokrasi kita. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu mendengarkan dan merespons kebutuhan rakyat, bukan hanya kepentingan elit politik atau kelompok tertentu saja. Dengan komitmen bersama, kita dapat menciptakan perubahan yang berarti dan memastikan bahwa setiap proses politik benar-benar mencerminkan kehendak dan kepentingan rakyat.
Akhirnya, kepala Sang Banteng pun geleng-geleng, entah karena adanya kutu busuk atau karena penyusup dalam partai. Penyusup dalam pengurus partai adalah ancaman nyata bagi stabilitas dan integritas di Kandang Banteng.