BANGKA BELITUNG, ERANEWS.CO.ID — Polemik kebangkrutan gerai ritel Berkah Mart di sejumlah desa yang ada di Bangka Belitung belakangan ini turut disoroti oleh Direktur Eksekutif FINE Institute, Kusfiardi, yaitu sebuah lembaga kajian fiskal dan moneter yang fokus melalukan riset terhadap kebijakan publik.
Sebelumnya diberitakan bahwa Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Adet Mastur, menilai program Berkah Mart yang dikelola pemerintah desa melalui BUMDes telah dia anggap gagal memacu produktivitas perekonomian di level hilir tersebut.
Padahal pihak DPRD Babel sendiri dikatakan Adet telah mengucurkan anggaran senilai Rp30 miliar pada tahun 2018 lalu agar unit usaha yang didirikan oleh BUMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui PT Bumi Bangka Belitung Sejahtera itu dapat menjadi leading sector untuk pendistribusian produk-produk berjenis ‘consumer goods’ di tingkat pedesaan lewat mekanisme kemitraan dengan BUMDes setempat.
Mencermati persoalan tersebut, Kusfiardi atau akrab disapa Ardi dalam suatu wawancara melalui sambungan telpon pada Minggu (27/06) sore di Jakarta menjelaskan persoalan Berkah Mart ini mesti dilihat dari sudut pandang makro ekonomi agar bisa membedah anatomi permasalahannya secara terukur dan komprehensif.
“Saya mulai dari makronya dulu ya. Secara makro kita itu ditopang oleh sektor konsumsi. Artinya barang yang beredar selama ini kebanyakan bukan hasil produksi kita. Kalau pun ada yang produksi kita itu hanya yang diproduksi di Indonesia, misalnya produk-produk dari industri ‘consumer goods’ yang dimiliki oleh perusahaan multinasional. Kemudian kehadiran gerai-gerai atau unit usaha distribusi itu mengukuhkan topangan sektor konsumsi tadi itu. Produk-produknya bisa kita inventarisir yang itu tidak terlalu banyak pemain yang punya jangkauan edaran cukup luas, karena ditopang oleh jalur distribusi yang juga mereka kuasai sendiri,” tutur ekonom muda yang juga aktif di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
Lebih lanjut lagi Ardi menjelaskan bila dilihat dari sisi bisnis, maka pilihan paling mudah memang cukup berkecimpung di dalam rantai perdagangan atau ‘trading’. Namun skema seperti itu ia katakan justru hanya menjanjikan posisi yang prospektif untuk pihak distributor yang juga didukung oleh ‘retailer’ atau pengecer saja.
Karena itu dalam kasus Berkah Mart, Ardi menilai konsep usaha jenis ritel yang dibangun oleh BUMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu masuk ke dalam logika ‘trading’ yang hanya berorientasi pada sektor konsumsi, sehingga menurutnya jenis usaha yang demikian justru akan merugikan pemerintah daerah.
“Yang banyak tidak diperhitungkan oleh kepala daerah itu adalah ketika bergantung dengan produksi yang tidak memiliki basis di daerah bersangkutan maka resikonya adalah uang dari daerah tersebut akan keluar ke akun di mana pabrik-pabrik itu punya rekening. ‘kan itu di Jakarta. Secara keuangan semuanya terpusat di Jakarta. Akhirnya ketersedian uang yang beredar tanpa sadar menjadi berkurang di daerah Bangka Belitung. Kalau peredaran uangnya berkurang maka itu bermasalah untuk bisa memiliki kecukupan modal usaha ketika mau mengembangkan usaha,” ujarnya.
Adapun solusi yang ditawarkan Ardi ialah bagaimana memfungsikan Berkah Mart sebagai unit usaha ritel menjadi pusat penjualan produk-produk lokal yang dihasilkan oleh masyarakat di Bangka Belitung untuk kemudian didistribusikan ke wilayah yang membutuhkan.
Ia mencontohkan bila ada kabupaten di Bangka Belitung yang sedang mengalami kekurangan beras, maka kebutuhan itu bisa disuplai dari kabupaten lain yang menjadi sentra penghasil beras lokal sehingga terjadi pertukaran barang ekonomi di tingkat regional.
Selain itu ia juga mengatakan Berkah Mart bisa pula menyerap produk industri lokal daerah setempat, semisal UMKM, agar basis produksi di wilayah setempat dapat dikelola optimal oleh unit usaha BUMD yang bekerjasama dengan BUMDes secara lebih produktif lagi.
Karena itu dalam hal ini Ardi menegaskan kalau peran BUMD dan BUMDes justru harus menguatkan potensi sumber daya ekonomi lokal serta mengembangkannya sehingga dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat secara keseluruhan dan memaksimalkan manfaat ekonomi untuk daerah bersangkutan.
Bila produk yang dihasilkan lebih banyak diproduksi oleh masyarakat daerah setempat, maka ‘output’ dari produk domestik regional bruto (PDRB) daerah ia katakan akan meningkat pula.
“Jangan sampai aktivitas perekonomiannya didominasi oleh produk atau jasa yang tidak dihasilkan oleh daerah karena akan berpotensi membawa keluar [arus] uang dari daerah bersangkutan,” kritik pria yang pernah terlibat dalam Koalisi Anti Utang Indonesia, agar Pemprov Kepulauan Bangka Belitung ke depannya lebih memerhatikan lagi aspek-aspek produktif di wilayahnya supaya tidak mempersulit kemampuan daerah untuk mengakses kebutuhan permodalan maupun investasi di masa mendatang.
Ardi pun menyarankan pihak pemprov melakukan riset produk lokal yang dapat diolah menjadi barang konsumsi masyarakat atau ‘consumer goods’, semisal mengolah lada sebagai salah satu komoditas unggulan Bangka Belitung menjadi produk kemasan berupa lada bubuk, yang kemudian dipasarkan melalui jaringan Berkah Mart yang ada di desa-desa di Bangka Belitung, sehingga mutu dan nilai jual dari lada itu sendiri, selain dapat diserap oleh pasar regional juga turut meningkatkan nilai tambahnya.
Sementara itu, selain menyoroti Berkah Mart, ia juga mengemukakan kalau Indonesia sendiri sebenarnya punya persoalan serius yang berhubungan dengan ketahanan pangan. Hal itu menurutnya dapat dilihat dari masih tingginya neraca impor untuk komoditas pangan.
“Sebelum pandemi neraca perdagangan kita defisit. Itu artinya kita impor lebih besar dibanding ekspor. Pada komoditas pangan ini, yang diimpor oleh pemerintah dengan variannya [adalah] sayur-mayur, beras, daging, buah-buahan, dan beberapa produk pertanian lain yang sebenarnya bisa kita produksi sendiri,” keluhnya.
Ia berpandangan, dikarenakan sektor pangan selama ini tidak diurus dengan baik oleh pemerintah maka menimbulkan ketergantungan impor yang mengakibatkan defisit terhadap neraca perdagangan nasional, sehingga turut berdampak pula terhadap kesehatan fundamental ekonomi nasional dan jaminan ketersediaan pasokan komoditas pangan.
“Contohnya kita impor daging dan susu dari Australia. Jika pada satu titik Australia tidak mau mengekspor daging dan susu mereka ke Indonesia maka kita akan punya masalah dengan ketersediaan daging dan susu di pasaran,” imbuh akademisi jebolan Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Hal ini, lanjutnya, bila tidak ditangani secara serius maka akan memicu dampak berantai seperti kelangkaan barang yang berimbas pada kenaikan harga barang turut mengakibatkan inflasi yang akan menurunkan daya beli masyarakat secara luas.
karena itu pemerintah pusat dikatakan olehnya terus mengimbau pemerintah daerah untuk dapat fokus di sektor pangan, supaya ke depannya dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dari hasil produksi sendiri, dengan ketentuan supaya ongkosnya tidak terlalu mahal, maka aktivitas produksi harus lah disebar sesuai potensi masing-masing daerah.
Sedangkan untuk daerah Bangka Belitung sendiri, menurutnya, memiliki potensi pengembangan peternakan sapi dan juga penggemukan, yang bila potensi ini bisa digarap secara serius, dimungkinkan dapat mengurangi ketergantungan kebutuhan daging sapi yang masih disuplai dari daerah lain.
“Jadi pekerjaan pemerintah daerah memang membutuhkan kreativitas agar dapat membaca potensi daerahnya lalu menginventarisirkannya ke dalam perancanaan pembangunan. Lalu kemudian untuk aspek-aspek yang membutuhkan dukungan pendanaan dimasukin ke dalam ABPD. Kemudian dipikirkan apakah perlu suatu BUMD untuk bisa menopang agenda pembangunan daerah,” ungkapnya.
Bila skema tersebut bisa direalisasikan, Ardi meyakini perputaran ekonomi di daerah dapat bergerak lebih efektif dan efisien, sehingga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ia katakan dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan sistem saling silang antar-kabupaten atau kota sesuai potensi di kabupaten atau kota masing-masing.
Bahkan ia menekankan bila setiap provinsi bisa menerapkan hal demikian maka tidak menutup kemungkinan Indonesia ke depan akan lepas dari ketergantungan impor pangan.
Sebab selain persoalan impor, masalah serius lainnya yang perlu dicermati juga ialah sektor distribusi barang, yang jalur ini ia katakan banyak dikuasai oleh pihak kartel.
“Kartel ini berhubungan dengan produsen dan para importir yang mereka memanfaatkan rente dari kartel itu sendiri,” tegasnya.
Karena itu ia berharap pemerintah lebih jeli lagi melihat masalah ini dengan memanfaatkan kewenangannya untuk mengatasi jaringan kartel yang menguasai jalur distribusi maupun produksi, yang salah satu caranya bisa dengan mengoptimalisasikan peran dan fungsi BUMD di setiap daerah.
“Buat BUMD, bangun BUMDes, kemudian tinggal mengklasterkannya menjadi BUMD produksi atau distribusi, lalu BUMDes-nya menjadi unit usaha ritel yang menjual produk, gitu. Nanti ini yang perlu dituangkan oleh pemerintah setempat ke dalam aturan yang sesuai, apakah Perda, Pergub, Perbup, atau apapun yang memiliki kekuatan hukum,” paparnya.
Ardi menambahkan bahwa pemerintah daerah dalam hal ini memiliki kesempatan yang luas untuk memajukan perekonomian daerah, dengan catatan harus bisa membuat batasan yang tegas terhadap jaringan kartel yang menguasai jalur distribusi dan produksi, termasuk mengoptimalkan kerja aparatur negara, agar sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh daerah mulai dari hulu hingga hilir dapat diolah dan dikuasai oleh pemerintah daerah secara penuh dan maksimal.
“Jadi kalau misalnya Bangka Belitung memiliki kekuatan di produk pertanian, ‘kan produk pertaniannya bisa diinventarisir. Produknya apa saja. Sentra penghasilnya di mana saja. Pusat konsumsinya ada di mana saja, dan yang pusat konsumsi ini ‘kan bisa dipetakan lagi, apakah di dalam Bangka Belitung, di luar Bangka Belitung, dan di luar Indonesia, artinya ekspor. Di situ peran strategisnya BUMD itu menurut saya. Kita bisa sebut perumpamaannya itu sebagai hak bisnis atau pusat bisnisnya dari potensi ekonomi Bangka Belitung dikelola oleh BUMD ini. Nanti dia (BUMD-pen) bekerja sama dengan BUMDes untuk tidak memperpanjang mata rantai koordinasi maupun distribusi,” jelas Ardi.
Adapun untuk peran dan fungsi BUMDes sendiri ia mengingatkan jangan pula hanya menjadi outlet jualan saja. Tapi harus bisa mengidentifikasi potensi ekonomi di desa untuk mendongkrak nilai tambah kesejahteraan bagi warga desa itu sendiri.
Kalau hal ini dapat dikerjakan oleh seluruh desa yang ada di Bangka Belitung serta ditopang peran BUMD, Ardi yakin peningkatan perekonomian daerah dapat terpacu lebih progresif lagi karena telah memiliki basis produksi yang kuat dan mengakar.