Pilkada Bangka, Calon Tunggal Bukan Oligarkisme Politik

BANGKA, ERANEWS.CO.ID – Sebagai insan pers yang memiliki hak kontrol demokrasi, penulis dalam hal ini ingin menyoroti dinamika politik Pilkada Bangka, terkhususkan adanya narasi-narasi propaganda yang terkesan menggiring opini publik bahwa kandidat tunggal yang bermaksud membangun oligarkisme politik dengan cara memborong semua partai parlemen daerah.

Dalam hal ini penulis berkeyakinan kalau siapapun yang memercayai hal itu berarti tidak mengikuti proses dinamika politik yang terjadi sebelum hari pendaftaran pasangan calon di KPU waktu itu. 

Ekses politik yang terjadi dalam kontestasi Pilkada Bangka hari ini merupakan seleksi alam yang bersandar pada kesiapan mental maupun kesiapan modal seorang politisi untuk maju ke Pilkada. 

Kesiapan mental adalah kapabilitas seseorang untuk berani meresikokan dirinya secara total terjun ke Pilkada tanpa mengetahui kepastian nasibnya ke depan, menang atau kalah. 

Artinya seseorang yang telah yakin untuk terjun mengabdikan dirinya mengurusi hajat publik lewat Pilkada maka orang itu merupakan sosok yang secara emosional sudah matang dan siap menanggung segala beban konsekuensi. 

Jadi bukan siap menang, tapi siap dan legowo menerima kekalahan, termasuk menanggung resiko jabatannya andai nanti terpilih. 

Ditambah lagi dengan kondisi APBD Bangka yang sedang defisit, maka hanya orang gila dan nekat saja yang mau maju ke Pilkada Bangka untuk mengubah Bangka hari ini dari titik minus menjadi plus ke depannya. 

Selain kesiapan mental, seorang politisi yang memiliki jiwa petarung juga sudah memiliki kecukupan modal untuk maju. Modal dalam hal ini bukan hanya terfokus secara nominal angka saja, tapi modal sosial yang juga harus dimiliki oleh seorang kandidat untuk maju. 

Jadi ketika ada kandidat yang memang telah memiliki dua syarat tersebut, artinya kandidat itu sudah memiliki syarat dasar untuk menjadi seorang pemimpin rakyat. 

Dikarenakan seorang pemimpin memang harus selalu siap dan berani menentukan setiap sikap, pilihan, atau kebijakannya yang beresiko, serta siap menanggung konsekuensi dari pilihan tersebut. 

Karena itu, berkaitan dengan isu-isu soal adanya upaya untuk membangun oligarkisme politik, hegemoni politik atau sejenisnya yang hari ini mewarnai Pilkada Bangka, penulis pikir merupakan perilaku yang sesat logika. Tidak substansial sekali. 

Sebab kita sama-sama tahu, jika Pilkada Bangka waktu itu rencananya akan diikuti oleh tiga bakal calon (bacalon) kandidat yang diusung parpol berbeda. 

Kemudian pertanyaannya kenapa hari ini malah tampil calon tunggal, tentu masyarakat mesti bertanya kepada dua bacalon lainnya; kenapa mereka tidak jadi maju ke Pilkada Bangka?

Bukannya alih-alih begitu mudah memercayai berbagai sangkaan yang tidak tahu kronologis yang sebenarnya. 

Padahal, dari dua bacalon kandidat itu, satunya sudah memasang baleho hingga reklame di berbagai tempat di kawasan Kota Sungailiat. 

Sementara yang satunya telah mendapat surat mandat politik dari DPP partai usungan, yang berita itu pun bahkan telah muncul di berbagai media massa. 

Tapi kemudian keduanya tiba-tiba membatalkan dirinya untuk maju ke Pilkada Bangka, maka hal itu yang semestinya patut kita pertanyakan, ada apa? 

Kenapa tiba-tiba mundur disaat partai usungan sendiri telah siap merekomendasikan bacalon untuk maju. 

Artinya menurut hemat penulis, keduanya belum memiliki kesiapan mental dan modal sosial yang kuat dan siap ambil resiko untuk maju ke Pilkada Bangka ini. 

Andai keduanya berani maju waktu itu, maka Pilkada Bangka ini tentu akan lebih variatif dan kompetitif sekali. 

Akibat tidak adanya kesiapan dan keberanian itu lah akhirnya Pilkada di Bangka ini pun terpaksa hanya membuahkan satu calon kandidat tunggal. 

Ini lah yang penulis sebut sebagai seleksi alam dari sebuah proses politik berdemokrasi.  

Namun mirisnya, dalam proses berdemokrasi ini masyarakat kita kerap dibodoh-bodohi, dijejali ujaran-ujaran propaganda yang tersistematis. Menggiring hingga mengaburkan opini publik dari fakta kenyataan yang sebenarnya. 

Sedangkan masyarakat itu sendiri tidak tahu bagaimana kisah dan proses dinamika politik waktu itu terjadi, sehingga muncul calon tunggal pada hari ini, yang penulis asumsikan muncul dengan sangat terpaksa. 

Jadi sudah cukup dan berhenti lah menarasikan logika-logika cacat ke masyarakat. Membawa masyarakat ke dalam ilusi dan distopia dengan menebar isu kalau calon tunggal akan bangun hegemoni politik, fungsi kontrol DPRD akan mandul karena koalisi tunggal, implementasi APBD akan macet dan sebagainya. Ini terlalu menyedihkan di tengah kondisi ekonomi yang sedang butuh pemulihan saat ini. 

Alih-alih meneror masyarakat kita dengan kecemasan dan ketidakpastian, sebagai insan manusia semestinya lebih baik memberikan optimisme baru ketika situasi dan kondisi perekonomian kini tak baik-baik saja. 

Saran penulis untuk warga pemilih di Kabupaten Bangka, jadi lah pemilih cerdas. Pemilih yang mampu menganalisa dan menilai manakah cerita fakta, manakah yang fiktif. 

Jangan mudah termakan isu atau informasi liar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber informasinya. 

Jangan mudah tergiring ke dalam gerakan yang menolak calon tunggal dengan iming-iming jika gerakan tersebut dari rakyat, dan merupakan gerakan swadaya, tapi kenyataannya mampu menyewa reklame yang nilai sewanya terbilang fantastis di ruas jalan perkotaan. 

Karena patut publik pertanyakan, kalau memang gerakan tolak calon tunggal itu benar-benar dari rakyat dan merupakan swadaya rakyat, maka gerakan itu akan berjalan apa adanya, bukan ada apanya dan siapa di balik reklame megah nan besar yang bertuliskan coblos kolom kosong itu, ya?

Oleh: Julian Andryanto Mustafa, Sekretaris PJS Bangka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.