Korupsi tak ada matinya, kasus ini tiap hari kian bertambah. Dalam kepemimpinan Jokowi, dua tahun terakhir tindakan korupsi mengalami peningkatan. Hal itu yang ditemukan Lembaga Survey Indonesia (LSI) terhadap tren persepsi publik terkait korupsi (dikutip dari news.detik.com, 06/12/20).
Akhir tahun 2020 ditandai dengan penangkapan menteri yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi. Parahnya, satu diantaranya diduga korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari P Batubara sebagai tersangka kasus korupsi bansos Covid-19.
Ketua KPK Firli Bahuri mengungkap jika pihaknya telah mendeteksi terkait titik rawan terjadi korupsi selama pelaksanaan program penanganan pandemi Covid- 19, salah satunya pada program bansos. Juliari terbukti menerima suap sebanyak Rp17 miliar atas dana bansos Covid-19. Meski memiliki harta melimpah sebanyak Rp47,18 miliar tapi ternyata tak mencukupi kebutuhan gaya hidupnya.
Menerima suap sebanyak Rp17 miliar yang terbagi atas Rp8,2 miliar dalam pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama dan Rp8,8 miliar pada pelaksanaan bansos sembako periode kedua. Uang hasil suap diduga digunakan Juliari untuk membayar keperluan pribadinya. (dikutip dari newsmaker.tribunnews.com, 06/12/2020).
Padahal, dana bansos bersumber dari utang pemerintah, masih juga diembat. Inikah pemerintahan merakyat?
Dana Bansos Corona dari Utang “Dimakan”, Keterlaluan!
Perlu untuk diketahui publik, dana bansos yang dikorupsi Juliari bersumber dari APBN 2020. APBN itu berasal dari utang yang digali pemerintah untuk menambal defisit anggaran tahun ini. Disebabkan anggaran pemerintah membengkak sebesar Rp1.039 triliun atau 6,34 persen dari total produk domestik bruto (PDB). Defesit ini membebani keuangan negara hingga 10 tahun mendatang. (dikutip dari kabar24bisnis.com, 06/12/2020).
Apa kata yang pantas kita sebutkan untuk tindakan korupsi Juliari? Keterluan, sudahlah dana bansos diambil dari APBN yang berasal dari utang, bebani negara puluhan tahun kedepan. Sekarang ditambah lagi kerugian negara karena tindakan korupsi menteri sosialnya. Pemerintahan merakyat ala demokrasi justru makin menambah buntung negara dan rakyat.
Penerbitan surat utang oleh pemerintah digunakan untuk perlindungan sosial, salah satunya bansos warga miskin terdampak Covid-19. Anggarannya mencapai Rp234,33 trilun. Bila diperinci anggaran perlindungan sosial, antara lain, PKH, dan bantuan beras PKH Rp41,97 trilun. Sembako dan bantuan tunai sembako Rp47,22 trilun.
Bansos Jabodetabek Rp7,1 triliun. Bansos Non-Jabodetabek Rp33,1 triliun. Program prakerja Rp20 trilun. Diskon listrik Rp11,62 triliun. BLT dana desa Rp31,8 trilun. Bantuan subsidi gaji Kemenaker Rp29,85 triliun. Bantuan gaji guru honorer Kemendikbud Rp2,94 trilun. Bantuan gaji guru honorer Kemenag Rp2,08 triliun. Subsidi kuota internet Kemendikbud Rp5,5 triliun. Dan terakhir, bantuan internet siswa, mahasiswa dan guru Kemenag Rp1,16 triliun.
Sementara alokasi anggaran untuk Kemensos terbanyak mencapai Rp134 triliun.Pantas publik begitu marah hingga meluapkannya lewat media sosial. Kata “biadab” menggema menjadi trending topic Twitter. Bahkan Said Didu, Mantan Sekretaris BUMN, menulis “ini pekerjaan biadab” dalam twitnya di Twitter.
Pangkal Korupsi Ialah Demokrasi
Di Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang korup, tetapi juga menghasilkan para pejabat selevel menteri juga korup. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah. Pangkal masalah itu semua bersumber dari sistem yang masih diterapkan di negeri ini yaitu demokrasi.
Demokrasi punya cacat bawaan yang sampai kini sulit diperbaiki. Sejak zaman filsuf Yunani Kuno,cacat bawaan itu sudah dideteksi. Realitas masyarakat yang terfragmentasi dalam kaya-miskin, pandai-bodoh, kuat-lemah, menjadi pangkal kelemahan demokrasi. Bahkan standar baik-buruk dan terpuji-tercela diserahkan pada manusia.
Menurut Plato, demokrasi menjadi alat kaum tiran yang kaya, pintar dan kuat, untuk memobilisasi massa yang miskin, bodoh, dan lemah. Demokrasi juga melahirkan politik transaksional, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan adalah kekuatan tertinggi yang menentukan benar dan salah.
Sementara itu, ketika benar dan salah, sah dan tidaknya diserahkan kepada rakyat, bukan hukum syara’ (Islam), dampak yang paling serius adalah tidak adanya patokan yang baku. Karena itu, salah dan benar, sah dan tidak itu bisa berubah. Semuanya ditentukan kepentingan.
Di sinilah pangkal lahirnya transaksi-transaksi politik. Akhirnya, tidak ada teman yang abadi dalam politik demokrasi, tetapi kepentingan abadi.
Penulis :Eqi Fitri Marehan
Anggota Atpusi Kabupaten Bangka