Penulis: Bayu Saputra, S.Pd.Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia
TOBOALI, ERANEWS.CO.ID – Indonesia pasca era reformasi menerapkan demokrasi konstitusional ditandai dengan terjadinya amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebanyak empat kali.
Serta pada proses pelaksanaannya Indonesia menerapkan demokrasi secara langsung, yaitu memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota legislatif baik dari tingkat daerah sampai pusat melalui pemilihan umum secara langsung.
Indonesia sekarang ini sedang pada tahap konsolidasi demokrasi. Menurut Bayu Saputra, salah satu alasannya adalah ditandai adanya proses pemilihan secara langsung oleh rakyat dan dijamin dalam penyelenggaraannya berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur dan adil yang berimplikasi pada legitimasi kekuasaan berdasarkan suara rakyat.
Namun, pada faktanya, dengan fenomena calon tunggal menimbulkan problematika untuk negara Indonesia yang telah memasuki demokrasi konsolidasi. Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah fenomena tersebut adalah bentuk dekadensi demokrasi, atau fenomena alami yang biasa dijumpai pada negara demokrasi.
Dalam demokrasi langsung yang diterapkan oleh Indonesia, ada sendi-sendi moralitas politik yang harus dipegang erat bangsa Indonesia.
Moralitas yang dimaksud adalah dalam proses pemilihan, bahwa suara rakyat adalah nilai tertinggi yang harus dijadikan patokan dalam menyelenggarakan pemilihan.
Hal ini termasuk dengan pilihan calon pemimpin masyarakat karena oligarki politik di suatu negara mampu meruntuhkan sebuah sistem pemerintahan di suatu negara. Secara sosiologis, calon tunggal juga menandakan sifat labil demokratis yang dimiliki oleh setiap partai politik karena memaksa masyarakat untuk memilih setuju atau tidak setuju.
Dengan beberapa tahapan di atas, tak jarang partai politik untuk meminimalisir cost and benefit melakukan cara instan yaitu dengan memilih kembali incumbent yang notabene tidak perlu mengeluarkan usaha dan biaya politik yang begitu besar serta resiko kekalahan yang relatif kecil.
Terbukti, mayoritas calon tunggal pada pilkada selalu menang. Fenomena munculnya calon tunggal pada ajang pilkada 2024 akhirnya terjadi di Kabupaten Bangka Selatan setelah partai Gerindra susul 11 partai lain untuk memberikan rekomendasi kepada Riza dan Debby untuk melaju di pilkada 2024 Kabupaten Bangka Selatan.
Maka dari hal tersebut, Bisa di pastikan pilkada bangka selatan Riza dan Debby akan melawan kotak kosong. Fenomena ini tidak terlepas dari gagalnya proses internal partai politik untuk melahirkan pemimpin atau mengusungkan calon yang ideal,merakyat dan kompetitif untuk pilkada bangka selatan 2024.
Dan partai politik gagal memberikan pendidikan politik bagi masyarakat bangka selatan karena partai politik di basel sudah gagal melakukan fungsinya karena tidak mampu menghadirkan sosok pemimpin pembanding untuk pilkada 2024 ini, dengan terjadinya fenomena tersebut menurut saya partai politik di basel condong lebih fragmatis karena lebih memilih calon yang sudah populer.
Dengan ini pilkada 2024 bangka selatan akan melawan kotak kosong ini sudah cukup membuktikan partai-partai di bangka selatan sudah tidak bisa melahirkan pemimpin masa depan kabupaten.
Ini harus menjadi evaluasi buat partai politik di Bangka Selatan yang seharusnya bisa melahirkan kader-kader yang berkualitas dan berkompeten untuk bisa memajukan Kabupaten Bangka Selatan di kemudian hari.
Dengan fenomena hari ini Riza dan Debby melawan kota kosong pilkada basel 2024 harus betul-betul bisa di bedah di visi misi dan programnya harus berpihak kepada rakyat bukan oligarki karena 27 november 2024 nanti akan menentukan nasib Kabupaten Bangka Selatan 5 tahun ke depan.
(*)