Kekerasan Simbolik Pada Sistem Pendidikan Sekolah Menengah di Pangkal Pinang, Bangka

Oleh : Akhiriyah Mahasiswa Sosiologi UBB Semester 5

ERANEWS.CO.ID — Kekerasan dan pendidikan adalah hal yang bertentangan, Pendidikan memberikan kebaikan sedangkan kekerasan adalah hasil dari ketidak baikan.

Tindakan kritis harus diambil jika terjadi kekerasan di dunia pendidikan. Keras bentuk kekerasan fisik dan verbal yang paling umum dikenal. Namun, dari sudut pandang kasar Johan Galtung, seorang filsafat sosial, juga melihat kekerasan sebagai salah satu jenis
kekerasan. Yang terjadi ketika manusia dipengaruhi sehingga realisasi fisik dan pikirannya yang sebenarnya berada di atas realisasi potensialnya (Santoso, 2013:10).

Itu berarti Kekerasan tidak hanya fisik atau verbal; ada bentuk lain. Yang dapat berdampak lebih besar, yaitu kerusakan fisik dan mental sebagai akibat dari tekanan dari pelaku.

Bourdieu menyebut jenis kekerasan ini sebagai kekerasan simbolik. Sekolah dapat menjadi tempat di mana kelas populer, borjuis, dan dominan bertemu. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari berbagai jenis kehadiran kekerasan simbolik di dunia pendidikan, khususnya di sekolah melalui sistem pendidikan yang telah disetujui oleh kebijakan.

Karena kekerasan simbolik sulit untuk diidentifikasi, penelitian ini penting untuk dilakukan. Kekerasan simbolik hadir dalam sistem normal atau umum. Namun, kepekaan terhadap sistem dapat diamati. Menurut
Pierre Bourdieu, ada tiga alasan kekerasan simbolik. Biasa, kelas, dan modal. Ada banyak kebiasaan di sekolah. kebiasaan, modal, dan kelas. Setiap orang melahirkan melalui ketiga hal tersebut. berbeda, sehingga terjadi dominasi pemikiran dalam bentuk pemaksaan pandangan yang berbentuk sistem.

Salah satu contohnya adalah penggunaan media pembelajaran yang bias oleh siswa di kelas atas. Siswa di kelas bawah pasti tidak memahami media pembelajaran yang digunakan oleh pengajar. Jika ini berlanjut dan tetap sama, itu adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap kelas bawah, yang menunjukkan ketidak netralan, ini merupakan bentuk kekerasan simbolik bagi kelas bawah, dan ini telah menunjukkan ketidaknetralan dalam dunia pendidikan.

Dalam penelitian ini, fakta simbolik adalah kekerasan simbolik. Komersialisasi dari semua aspek kehidupan dan beban mereka membentuk kekerasan simbolik sendiri.

Kekerasan berasal dari pencitraan yang
dilakukan oleh pihak berkepentingan untuk menjual barang dan alat. Pemanas Menurut Bourdieu, ini disebut habitus, yang berarti pemaksaan kebiasaan dan pola. fikiran kelas atas terhadap kelas bawah.

Ini adalah bentuk pemaksaan ideologi atau paham kelas atas ini terhadap kelas bawah. kehadirannya tidak diketahui, menimbulkan kekerasan simbolik untuk pemilik kelas bawah yang selalu mendukung produksi kelas atas, oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan karena sistem sekolah berfokus pada kelas atas sehingga menyebabkan kekerasan simbolik di kalangan anak-anak kelas bawah.

Peneliti merumuskan beberapa pertanyaan berdasarkan masalah yang diungkapkan di latar belakang: apa itu kekerasan simbolik menurut Pierre Bourdie, bagaimana sistem pendidikan di Indonesia, dan apa pendidikan yang ideal untuk institusi pendidikan? Untuk menyelidiki kekerasan simbolik, Pierre Bourdieu, menggambarkan sistem pendidikan di Indonesia dan mengevaluasinya pendidikan ideal bagi Indonesia.


Pendidikan Ideal Menurut Pierre Bourdieu

Meskipun istilah “pendidikan ideal” masih jauh dari kenyataan, setidaknya ada upaya yang dilakukan untuk mengurangi peran yang dominan dalam pembuatan pendidikan ideal.

Dengan mempertimbangkan faktor lain, seperti latar belakang setiap siswa dan kualitas pembelajaran setiap kelas, sistem sekolah dan media pembelajaran dapat bersifat netral. Lalu Apa model pendidikan ideal menurut Bourdieu? Pendidikan adalah jawabannya.

Seimbang kelas dan tidak bias kelas berarti bahwa habitus kelas atas dan kelas bawah dalam sistem pendidikan harus disajikan secara proporsional, sehingga habitus kelas atas tidak mengambil keuntungan dari kelas bawah. dominan di kelas bawah. Tidak bias kelas menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang bersifat humanis dapat ditemukan di semua lapisan masyarakat.

Bourdieu menganggap pendidikan sebagai sarana untuk mempertahankan eksistensi kelas yang mendominasi. Pada dasarnya, sekolah hanya melakukan reproduksi budaya, sebuah sistem yang digunakan oleh sekolah dalam hubungannya dengan institusi lain untuk membantu mempertahankan ketidaksetaraan
ekonomi antar generasi.

Kursi dominan mempertahankan posisinya melalui cara yang disembunyikan, yang disebut oleh Bourdieu Illich kursus. Sekolah menggunakan metode ini untuk mempengaruhi sikap dan kebiasaan siswa.

Dominan budaya kelas. Artinya, kelas yang berkuasa memaksa kelas yang terdominasi
untuk berperilaku dan mengikuti budaya kelas yang dominan di sekolah. Setiap sekolah hampir selalu siap.

Menawarkan budaya kelas atas dalam semua kegiatan yang dia lakukan. Siswa dari lingkungan kelas bawah terus berusaha untuk menjadi bicara dan berperilaku yang sudah biasa. digunakan kelas dominan, yang
disebut habitus oleh Bourdieu.

Sekolah Dalam Memproduksi Orang Terdidik

Perkembangan terbaru dalam penelitian antropologis dan sosiologis tentang sekolah menentukan fokus penelitian pendidikan. Gelombang pertama penelitian tentang kritik pendidikan yang muncul pada tahun
1970- an Setelah hegemoni fungsional dan saintistik runtuh dalam disiplin ilmu sosial.

Sosiologi pendidikan kontemporer membawa perspektif yang signifikan untuk studi sekolah. Apple dan Althusser berpendapat bahwa sekolah adalah salah satu institusi terkemuka dalam menanamkan doktrin negara kapitalis
kontemporer (ideologi) state apparatus of contemporary capitalism).

Pada akhirnya, 15:1970an: teori reproduksi budaya timbul untuk menjelaskan bagaimana peran sekolah dalam mereplikasi ketidaksetaraan mengatasi ketidaksetaraan yang terjadi secara struktural.

Pierre Bourdieu Teori Reproduksi Budaya Dalam Pendidikan

Teori Pierre Bourdieu, seorang ahli sosiologi Prancis, mengatakan bahwa pendidikan dapat membantu reproduksi budaya. Reproduksi budaya berdasarkan hak istimewa adalah pendekatan yang sangat unik yang didirikan oleh Bourdieu dan rekannya.

Bourdieu menyatakan bahwa tatanan sosial yang tidak setara didorong oleh penilaian gaya dan kompetensi yang tidak objektif.37: Michael W. Apple adalah salah satu orang pertama yang membangun karya Bourdieu, dan dia secara eksplisit membahas reproduksi ekonomi dan budaya dalam pendidikan.

Teori Bourdieu adalah bahwa pendidikan berperan besar dalam memproduksi ulang dan terus-menerus kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat. Kelas, konsep kunci teori Bourdieu, yaitu kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengkondisian yang serupa.

Pembedaan ini dilakukan secara vertikal. Kelas memiliki segala kemungkinan untuk memiliki disposisi dan kepentingan yang serupa, dan karenanya ia memiliki kemungkinan untuk memproduksi praktik dan mengadopsi sikap mental yang serupa atau selera yang sama.

Kesimpulan Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik adalah penerapan makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai hal yang normal dan absah, bahkan jika aktor lain menganggap makna sosial tersebut benar.

Jenis kekerasan ini tidak dianggap sebagai kekerasan karena dapat bekerja dengan baik dalam praktik dominasi sosial; dengan kata lain, kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan yang digunakan secara paksa untuk memaksa orang untuk mematuhi yang bergantung pada harapan kolektif, tidak dianggap sebagai paksaan dari keyakinan yang telah ditanamkan secara sosial.

Sistem yang berfungsi adalah Kekerasan simbolik terjadi dengan menyembunyikan kekerasan atau sesuatu yang lain. Yang diterima sebagai “yang harusnya demikian”. Menurut Bourdieu, proses ini disebut sebagai
proses penanaman atau inkalkulasi yang berlangsung secara terus menerus.

Salah satu pasal UUD menetapkan kebijakan yang mengatur sistem pendidikan sekolah di Indonesia. Kebijakan ini mengacu pada prinsip kesetaraan dan rasa yang sama, dan berlaku untuk semua sekolah di seluruh negeri.

Penulis menemukan bahwa ketidakadilan kebijakan yang bias oleh kelas dominan
menyebabkan pendidikan di sekolah hanya diakses oleh segelintir orang yang memiliki modal. Ini berbeda dengan siswa yang tidak memiliki modal. sehingga terjadi kekerasan simbolik terhadap siswa di kelas populer.


Referensi:
BUKU,Adiwikarta, Sudardja. Sosiologi Pendidikan Analisis Sosiologi Tentang Praksis Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2016. Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyyat. Rûh al-Tarbiya wa alTa’lîm. Kairo: Dar ihya’ al-Kutub al’Arabiyyat ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1962.
Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdulaziz, 1979.
JURNAL Bourdieu, Pierre. 1990. An introduction to the work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory. London : The Macmillan Press Bourdieu, Pierre. 1993. The field of cultural production: Essays on Art and
Literature. Columbia University Press: ColumbiaDarmaningtyas, Dkk. 2008. Membongkar Ideologi Pendidikan, Jelajah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-RuzzFashri, Fauzi.
2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Refleksi Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose

(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.