Oleh : Rusnita Maulany Fadilan NIM. 5012111055 Mahasiswa Sosiologi
Universitas Bangka Bangka Belitung
ERANEWS.CO.ID — Sebelum mengetahui lebih dalam mengenai Ritual Bakar Tongkang kita akan menjelaskan secara umum mengenai Kearifan lokal dan bagaimana korelasinya dengan pemanfaatan dan pelestarian lingkungan.
Kearifan lokal atau local wisdom itu sendiri berasal dari kata “wisdom” yang artinya
ialah kebijaksanaan dan “lokal” yang berarti daerah setempat atau daerah lokal. Jadi, secara umum kearifan lokal itu sendiri ialah sebuah gagasan, ide, paham atau pemikiran yang telah diwariskan secara turun temurun dari ajaran nenek moyang.
Kemudian, gagasan-gagasan, nilai-nilai yang dipandang baik dari suatu tempat/lokasi tertentu yang memiliki sifat bijaksana serta bernilai baik kepada masyarakat yang masih memegang ajaran dan mewarisinya secara turun temurun.
Hal tersebut dilakukan untuk tetap menjaga kearifan lokal tetap ada dan akan terus dilakukan oleh generasi yang akan datang. Kearifan lokal juga memiliki bentuk tersendiri dalam masing-masing seperti perayaan, kegiatan-kegiatan tertentu dan dilakukan secara bersama-sama.
Kearifan lokal merupakan sebuah produk kebudayaan sejak masa lalu yang pantas
secara berkesinambungan dijadikan pegangan hidup.
Walaupun bernilai lokal namun nilai
yang terdapat pada kearifan lokal sudah dianggap sangat universal. Kearifan lokal ialah perilaku positif masyarakat dalam berhubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya yang dapat bersumber dari adat istiadat, nilai- nilai agama, petuah nenek moyang ataupun budaya setempat yang sudah terbentuk secara alamiah pada suatu komunitas masyarakat untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.
Kearifan Lokal merupakan pengetahuan eksplisit yang muncul dari periode yang
panjang dan berevolusi bersama dengan masyarakat dan lingkungan di daerahnya berdasarkan apa yang sudah dialami. Jadi dapat dikatakan, kearifan lokal di setiap daerah berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup.
Kearifan lokal bisa dilihat dari beberapa aspek yang sangat melekat pada budaya, tradisi, dan adat-istiadat yakni diantaranya ialah; kearifan lokal memiliki kemampuan untuk mengendalikan, kearifan lokal dianggap menjadi sebuah benteng untuk bertahan dari
pengaruh budaya luar serta bagaimana cara mengakomodasi budaya luar yang masuk dengan membuang hal buruk, kearifan lokal memiliki sebuah kekuatan yang tak terlihat untuk memberi arah perkembangan budaya, dan kearifan lokal memiliki kemampuan integrasi atau menyatukan budaya luar dengan budaya asli.
Namun yang terjadi malah beberapa kearifan
lokal juga terkadang sudah banyak ditinggalkan dan bahkan dilupakan oleh masyarakat asli. Kearifan lokal yang sudah ada justru digunakan oleh budaya luar dan bahkan untuk dipertontonkan.
Hubungan kearifan lokal dengan kondisi geografis lingkungan sendiri terbentuk
dengan adanya keunggulan keadaan geografis suatu wilayah sehingga dapat terciptanya
kearifan lokal pada daerah tersebut. Setelah mengetahui secara umum tentang kearifan lokal maka kita akan membahas salah satu contoh kearifan lokal yang memang digunakan untuk melestarikan lingkungan.
Sejarah Tradisi Bakar Tongkang
Sejarah Bakar Tongkang sendiri berawal dari sebuah perjalanan beberapa kelompok masyarakat Tionghoa yang merantau menyebrangi lautan. Perjalanan yang dilakukan mulai dari Provinsi Fujian (China) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup kelompok masyarakat tersebut dan ditambah dengan tuntutan untuk mencari biaya kehidupan yang lebih baik.
Mereka merantau hanya menggunakan sebuah perahu sederhana dari kayu dengan ukuran yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Namun dalam masa perjalanan mereka
kesulitan untuk menemukan arah menuju daratan ditambah dengan peralatan yang seadanya.
Bimbang dalam perjalanan karena kehilangan arah, mereka melakukan doa kepada Dewa
kepercayaan mereka yakni Dewa Kie Ong Ya yang dilakukan oleh sekelompok orang
tersebut supaya bisa diberikan petunjuk serta tuntunan arah menuju daratan.
Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya
yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan,
akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka.
Cahaya terang yang dilihat ke-18 perantau ini pada waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang di atas bagan dan sebetulnya juga cahaya tersebut merupakan sebuah tempat penampungan ikan yang ada di pelabuhan.
Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang atau Hong.
Pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16, para perantau menginjakkan kaki di daratan tersebut, mereka menyadari bahwa di sana terdapat banyak ikan laut, dengan penuh
sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup.
Mulailah mereka bertahan hidup di
tanah perantauan tersebut. Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.
Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera
mengajak sanak-keluarga dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak.
Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut di-ekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia
setelah Norwegia.
Untuk mengenang para leluhur dalam menemukan Bagansiapiapi dan sebagai wujud syukur terhadap dewa Kie Ong Ya, kini setiap tahun diadakan Ritual Bakar Tongkang
atau Go Cap Lak. Go berarti bulan kelima dan Cap Lak berarti tanggal enam belas, perayaan
Go Cap Lak jatuh pada tanggal 16 bulan kelima setiap tahunnya.
Tradisi Bakar Tongkang Sekarang
Ritual Bakar Tongkang merupakan ritual tahunan masyarakat di Bagansiapiapi yang
telah terkenal di mancanegara dan masuk dalam kalender visit Indonesia.
Setiap tahun, festival ini mampu menyedot wisatawan dari negara Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga daratan Tiongkok.
Kini even tahunan ini gencar dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai sumber pariwisata. Tercatat bahwa data pengunjung yang terkumpul sementara sebanyak 69 ribu wisatawan. Terdiri dari 40 ribu orang wisatawan nusantara dan 29 ribu orang wisatawan mancanegara.
Festival Bakar Tongkang adalah event tahunan yang sarat akan budaya China. Karena
itu, kegiatan ini sangat berpotensi menarik wisata mancanegara maupun warga keturunan yang sudah bermukim di Indonesia.
Dari tahun ke tahun, festival ini selalu meriah dan mendapat sambutan luar biasa dari warga setempat maupun pendatang.
Yang menarik dari festival ini bukan hanya soal aksi bakar replika tongkang. Tetapi
juga menyangkut asal-usul atau sejarah lahirnya Bagansiapi-api Kabupaten Rokan Hilir.
Dengan kemasan yang menarik, atraksi ini pun menghadirkan sajian atau pertunjukan luar
biasa.
Bakar Tongkang sebagai Kearifan lokal dalam menjaga Lingkungan
Dalam membahas keterkaitan antara kearifan lokal yang satu ini dalam menjaga kelestarian lingkungan, hilangkan dulu prasangka bahwa kearifan lokal yang satu ini sekarang bukan lagi dianggap menjadi kebudayaan masyarakat Tionghoa tetapi ini adalah kebudayaan yang memang terbentuk pada saat orang Tionghoa datang.
Secara tidak langsung maka, kearifan ini sekarang sudah menjadi kearifan lokal yang ada di Indonesia. Apalagi ditambah dengan adanya pencampuran dengan budaya melayu yang ada di Riau.
Dalam hal ini tradisi Bakar Tongkang sebetulnya merupakan salah satu kearifan lokal yang merujuk pada penjagaan kelestarian lingkungan itu sendiri.
Bakar Tongkang sama halnya dengan memberikan rasa syukur kepada alam khususnya ekosistem laut melimpah yang telah memberikan ruang untuk penghidupan masyarakat setempat.
Dulunya mereka memberikan sesembahan berupa pembakaran pada kapal merupakan
salah satu bentuk rasa syukur pada Dewa mereka namun sekarang perlahan berubah menjadi Tradisi untuk memberikan terima kasih kepada laut.
Di satu sisi, mari kita lihat dari segi lingkungannya bahwa ekosistem laut yang melimpahlah yang telah memberikan mereka ruang untuk mencari nafkah dari hasil tangkap laut.
Mereka memberikan larangan menangkap ikan secara ilegal yang dapat merusak ekosistem laut dan memanfaatkannya hanya sekedar untuk kebutuhan hidup dan bukan untuk
mengeksploitasi hasil laut secara besar-besaran.
Cara mereka mempertahankan lingkungan
mereka dengan kearifan lokal yang ada dan tentu memiliki aturan tersendiri dalam mengatur kehidupan dan mengelola hasil laut sebaik mungkin. Kemudian larangan-larangan yang muncul pun bermanfaat sangat besar untuk menahan masyarakat dalam melakukan
eksploitasi secara besar-besaran.
Serta ditambah dengan adanya penjagaan nilai-nilai leluhur secara turun temurun
yang telah ada juga membuat kearifan lokal tersebut dirasa sangat tepat untuk dilaksanakan.
Sehingga masyarakat yang nantinya menikmati hasil laut tidak hanya untuk dinikmati saat ini
namun juga untuk dirasakan anak cucu kedepannya.
Sebab, didalam kelestarian lingkungan harus melihat beberapa aspek yang telah ada
seperti kearifan lokal berusaha untuk mengendalikan keberlangsungan ekosistem ditambah dengan ada kekuatan dari sebuah budaya yang membuat pihak-pihak lain enggan melakukan eksploitasi.
Dan dari segi ekonomisnya budaya ini sudah menjadi festival tahunan yang menarik wisatawan dari dalam negeri maupun dari luar negeri/manca negara.
(*)