Oleh : Deswita Aprilia Program Studi Sosiologi Universitas Bangka Belitung
ERANEWS.CO.ID — Indonesia dinilai menjadi salah satu negara yang masih mengalami ketidakadilan gender. Oleh karena itu, permasalahan ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataannya, ketidakadilan akan gender masih terjadi di kalangan perempuan-perempuan Indonesia, namun hal ini tidak menjadi masalah jika pada pemilihan peran, sifat serta posisi yang menciptakan ketidakadilan.
Sebagai sumber daya manusia dalam kehidupan masyarakat, baik laki-laki dan perempuan sama-sama berkedudukan sebagai subyek dan objek pembangunan.
Mereka mempunyai peranan yang sama dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan menikmati hasil pembangunan. Perbedaan dari keduanya terletak pada kondisi fisiknya, yaitu alat reproduksi.
Kenyataannya perbedaan reproduksi antara laki-laki dan perempuan seringkali dinormalisasi, dimana perempuan dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai manusia yang lemah, cengeng, tidak dapat mengambil keputusan penting, perempuan bekerja di rumah dan membantu laki-laki mendapatkan penghasilan tambahan dan laki-laki adalah manusia yang sempurna, kuat dan sebagai pencari nafkah utama.
Hingga saat ini budaya patriarki terus berkembang di lingkungan masyarakat Indonesia. Budaya ini dapat dilihat dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan, politik, hingga hukum sekalipun. Seorang perempuan tidak boleh bekerja dengan pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki, seperti menjadi pilot dan arsitek yang saat ini didominasi oleh laki-laki.
Akibatnya, banyak orang masih meragukan kemampuan perempuan dalam pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki. Dalam politik, perempuan masih dianggap sebagai bayang-bayang laki-laki. Masyarakat yang patriarkal sejak awal, menganggap bahwa laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan, baik itu dalam keluarga, masyarakat, kehidupan pribadi maupun bernegara.
Dalam budaya yang dianggap patriarki, perempuan dilarang tidak berpartisipasi dalam aktivitas politik maupun pemerintahan. Meskipun demikian, peran perempuan masih sering dimanipulasi secara politik dan digunakan sebagai alat legitimasi.
Praktik budaya patriarki ini masih ada hingga saat ini, terutama pada masyarakat yang masih belum bisa menerima konsep kesetaraan gender dalam beberapa bidang, salah satunya dalam aspek pendidikan.
Laki-laki biasanya lebih mudah melanjutkan studi ke perguruan tinggi setelah lulus SMA, sedangkan perempuan harus menerima akibat dari patriarki bahwa perempuan tidak perlu melanjutkan pendidikan tinggi karena pada akhirnya mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga.
Budaya patriarki merupakan salah satu tradisi turun temurun yang sampai saat masih sulit dihilangkan, termasuk kaitannya dengan pendidikan. Dalam keluarga terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, kemungkinan besar anak laki-laki akan dididik lebih awal daripada anak perempuan.
Konsep Teori dan Pembahasan Film Ngeri-Ngeri Sedap
Untuk mengkaji film Ngeri-Ngeri Sedap, penulis menggunakan teori Semiotika Ferdinand De Saussure yaitu mengemukakan jika bahasa merupakan sistem tanda serta setiap tanda terdiri dari dua bagian yaitu penanda (signifier) serta petanda (signified).
Penanda ialah bagian material daripada bahasa, yaitu apa saja yang dikatakan serta didengar juga apa saja yang ditulis serta dibaca. Sementara, petanda ialah gambaran akan pikiran atau konsep dan mental.
Dalam semiotika Ferdinand hubungan antara penanda serta petanda bersumber pada kovensi, yaitu disebut signifkasi. Semiotika signifikasi ialah tatanan dari tanda yang berlandaskan dari konvensi ataupun aturan
Suku Batak menganut paham patrilinear yang menyatakan bahwa jika seorang anak Batak dilahirkan maka ia akan memahami garis keturunan ayahnya dan anak tersebur akan mengikuti marga ayahnya sehingga lebih menunjukkan rasa hormat terhadap laki-laki.
Hal ini menciptakan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai prioritas utama, sedangkan istri dan anak-anaknya terutama perempuan diposisikan sebagai kepentingan lak-laki.
Salah satu film Indonesia yang mengangkat isu sosial terkait budaya patriarki adalah film yang disutradarai oleh Bene Dion Rajagukguk pada tahun 2022 yang berjudul Ngeri-Ngeri Sedap.
Film ini adalah drama komedi bertema keluarga, dan bercerita tentang kehidupan keluarga Pak Domu dan Mak Domu beserta empat orang anaknya, Domu, Gabe, Sarma, dan Sahat. Dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, dunia perempuan adalah dunia yang disenyapkan. Dunia perempuan disenyapkan oleh dominasi Pak Domu sebagai kepala keluarga.
Dalam dunia itu, yang terbaik adalah apa yang dirancang dan dikehendaki oleh Pak Domu. Domisi ini utamanya melalui tokoh Mak Domu Dan Sarma, anak perempuan satu-satunya di keluarga tersebut. Hubungan yang terjalin antara Pak Domu dengan anak-anaknya tidak begitu harmonis
Pembentukan awal budaya patriarki adalah keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil yang dapat menularkan nilai-nilai patriarki, berperan dalam berpikir serta bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat patriarki.
Pada akhirnya, masyarakat menginternalisasikan nilai-nilai patriarki ke dalam kehidupan mereka dan mewariskannya kepada generasi berikutnya, dan pada akhirnya negara turut serta melestarikan sistem ini. Seperti pada film Ngeri-Ngeri Sedap yang disutradarai oleh Bene Dion Rajagukguk.
Latar belakang sifat keras kepalanya, selalu merasa benar dengan segala keputusan dan tindakannya, tidak menerima perbedaan pendapat serta begitu mengutamakan adat, juga begitu mengutamakan pandangan orang pada keluarganya. Hal tersebut dapat dilihat sejak awal film dimulai, dimana Bapak Domu menyuruh Gabe (anak kedua) untuk berhenti menjadi pelawak karena tidak sesuai dengan adat Batak. Dan jika tidak mau berhenti, nantinya Gabe tidak akan diperbolehkan untuk pulang.
Begitu pula kepada anak pertamanya, Domu yang diperintahkan untuk tidak menikah dengan wanita dari suku Sunda karena tidak sesuai dengan adat Batak.
Terakhir, yaitu kepada anak paling kecil, yaitu Sahat yang tidak diperbolehkan untuk merantau dan disuruh untuk kembali pulang ke kampung halamanya.
Pada bagian selanjutnya, Patriarki tokoh Bapak ditampilkan pada saat mengatur istrinya untuk membuat skenario seolah-olah mereka ingin bercerai agar anak-anak mereka yang merantau akan pulang dan mengikuti kemauan Bapaknya.
Dalam hal ini, budaya Batak ditonjolkan bahwa seorang istri selalu patuh akan perintah suaminya.
Pada bagian selanjutnya, Patriarki tokoh Bapak yang ditonjolkan pada film ini adalah ketika terjadinya perdebatan keluarga saat anak-anaknya memutuskan untuk ingin kembali ke perantauan.
Sifat mengatur dan memerintah Bapak sangat ditonjolkan pada bagian ini. Pada adegan tersebut ditampilkan bahwa sosok istri dan anak perempuan dalam keluarga tersebut mulai melawan perkataan ataupun pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh Bapak karena tidak sesuai keinginan mereka dan memberikan rasa sakit hati yang mendalam bagi seluruh anggota keluarganya akibat dari sikap terlalu patriarki yang dilakukan oleh tokoh Bapak.
Penolakan atas sikap patriarki yang mengontrol keluarga tersebut juga ditampilkan pada film ini. Penolakan atas sikap patriarki tersebut juga dilaksanakan oleh tokoh Sarma (anak perempuan) dalam keluarga tersebut.
Pandangan di budaya suku Batak, perempuan selalu dilarang untuk melawan dan selalu mengikuti perintah dari Bapak sebagai kepala keluarga, bahkan dalam hal mengambil keputusan dalam menjalani kehidupan.
Terlihat jelas bahwa pada bagian ini sistem patriarki tersebut sangat dirasakan oleh anak perempuan dan bahkan sampai menyakiti dirinya sendiri akibat tidak mampunya ia memilih apa yang dia inginkan untuk kehidupannya, akibatnya dari budaya patriarki yang dilakukan oleh tokoh Bapak.
Dalam film Ngeri-Ngeri Sedap tersebut, sikap patriarki Bapak diungkapkan bukan melalui cara-cara paksaan (hukuman), melainkan melalui nilai-nilai kepada keluarganya untuk mengatur akan keputusan apa yang harus mereka laksanakan. Tokoh Bapak dalam film tersebut ditampilkan sebagai laki-laki yang berusaha untuk menghidupi keluarganya, melindungi keluarganya dan menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Representasi
Representasi Budaya Patriarki dalam film Ngeri-Ngeri Sedap ialah sebuah drama dalam keluarga yang berlatarbelakang dari budaya Batak. Dengan keharmonisan palsu yang dirasakan oleh anggota keluarga Pak Domu.
Pak Domu dianggap sebagai kepala keluarga yang kolot dan kepala rumah tangga yang selalu memaksakan kehendaknya. Dalam film ini, laki-laki mendominasi perempuan dan menggambarkan mereka sebagai kelas kedua. Budaya patriarki yang direpresentasikan dalam film ini menggunakan struktur budaya patriarki privat dalam mendominasi kekuasaan suami atau ayah sebagai kepala keluarga.
Marginalisasi atau pinggiran terhadap perempuan dalam film ini menggambarkan keterasingan dan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Seperti dalam scene 2, scene 3, dan scene 7, disini sang ayah mengingkari hak istrinya dan posisi istri dalam sebuah keluarga menjadi kurang penting.
Mak Domu tidak pernah didengar. Suami mempunyai kekuasaan sepenuhnya terhadap istri sehingga hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan suami berarti bukan keputusan yang benar dan tepat. Sarma harus patuh dan tidak boleh melawan atau bersuara, hal ini memperlihatkan perempuan dipinggirkan secara nyata.
Subordinasi atau penempatan seseorang dalam posisi yang kurang penting yang terdapat pada scene 4 karena posisi laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sehingga anggota yang lain dianggap penting. Pak Domu tidak meminta izin terhadap Mak Domu ketika mengeluarkan dana yang besar untuk pesta adat Sulang-Sulang Pahopu.
Membuat posisi Mak Domu tidak begitu penting dalam pengambilan sebuah keputusan dalam rumah tangga, Mak Domu terus mendapatkan sebuah keputusan dalam rumah tangga dan terus mendapatkan tekanan untuk setuju pada scenario bercerai.
Stereotype bahwa perempuan harus mengurus rumah dan wajib melayani suami yang terdapat di scene 5 dan scene 7. Kewajiban istri ialah harus mengurus suami dan anggota keluarga yang lain membuat hal-hal tersebut sebagai tanggungjawab yang hanya dibebankan kepada istri.
Terdapat anggapan jika suami atau laki-laki terbebas dari pekerjaan rumah tangga. Sangat bermasalah jika perempuan tidak melaksanakan pekerjaan rumah tetapi tidak apa-apa bagi laki-laki. Stereotype lain ialah perempuan tidak diperbolehkan melawan harus selalu menurut dan tunduk terhadap laki-laki.
Kekerasaan mental yang ada dalam film ini tergambar dalam scene 1, scene 6, dan scene 7. Keputusan yang dibuat anak adalah keputusan yang sia-sia dan tidak tepat menurut anggapan orang tua. Anak kehilangan kepercayaan diri dan tidak mampu menggambil keputusan karena selalu dalam kendali ayah atau orang tua.
Hal itu juga merupakan bagian dari hak-hak anak yang terampas akibat pilihan hidupnya selalu menjadi pilihan orang tua atau ayah. Anak tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih jalan hidupnya.
Belum juga tergambar dalam scene 5 selain harus mengurus rumah dan melayani suami. Perempuan juga harus mengurus anak-anak dan itu menjadi tanggungjawab penuh seorang istri. Perempuan atau istri harus melakukan pekerjaan domestic dalam rumah tangga jika tidak melakukan hal itu maka perempuan dianggap tidak taat terhadap suami.
Beban ganda tersebut menjadi sesuatu yang dipandang umum jika perempuan harus mengurus rumah, melayani suami, menjaga dan mengurus anak-anaknya berbeda dengan suami yang tidak perlu melakukan hal tersebut.
(*)