Bergesernya Perilaku Masyarakat tidak Kooperatif dengan Penolakan KIP Timah di Perairan Laut Babel

Implementasi Pasal 33 UUD 1945

Pada dasarnya, dengan hadirnya Pasal 33 UUD 1945 merupakan sebagai asas pemerataan yang artinya hal yang menjadi suatu landasan yang digunakan dalam melaksanakan pembangunan nasional yang diharapkan dapat terwujud bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Kendati demikian saat itu, bukan berarti tidak ada yang peduli dengan masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir pantai atas beraktifitasnya KIP Timah didaerah tangkapan nelayan sebagai tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan.

Diketahui, saat itu HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sebagai inisiator yang memperjuangkan agar KIP Timah milik mitranya yang beroperasi diperairan laut Bangka Belitung khususnya didaerah tangkapan nelayan untuk memberikan dana kompensasi sebagai bentuk kepedulian PT Timah dan mitranya memberi bantuan kepada masyarakat nelayan dan pesisir pantai yang terdampak dari beroperasinya KIP Timah saat melakukan exploitasi/penambangan di perairan laut Babel walaupun exploitasi dilakukan berada dalam IUP nya.

Kemudian, terjadi kesepakatan antara pengusaha KIP Timah dengan masyarakat nelayan, dan sejak saat itu sampai saat sekarang terbentuklah panitia kecil yang mengurus dana bantuan sebagai kompensasi dari beroperasinya KIP Timah, dan besar kecilnya nilai kompensasi yang disepakati bersama itu diambil berdasarkan nilai rupiah per kilogram (Rp/kg) dari setiap hasil produksi KIP Timah yang beroperasi didaerah adanya masyarakat nelayan, pesisir atau sekitar yang terdampak.

Panitia kecil itu disebut oleh masyarakat kami ‘Panitia KIP’, yang pengurusnya terdiri tokoh masyarakat, tokoh pemuda, Kades, BPD, LPM, atau orang yang dapat ‘dipercaya/yang amanah’.

Itulah salah satu bentuk implementasi dari UUD 1945 Pasal 33 tentang Kesejahteraan Sosial, walaupun PT Timah mewakili negara selaku pemilik IUP tercantum dalam pasal 33 ayat 3, namun tidak serta perusahaan negara itu mengabaikan pemahaman pada ayat 1 dan ayat 4 pasal 33 UUD 1945.

Dengan adanya pemberian dana kompensasi kepada masyarakat nelayan itu adalah sebagai bentuk implementasi pengamalan Pasal 33 ayat 1 dan ayat 4 UUD 1945, dalam penjelasannya menegaskan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan, dan Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Kendati pemberian dana kompensasi itu tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan di laut, khususnya didaerah tangkapan nelayan sebagai mata pencaharian mereka, namun kesepakatan bersama antara PT Timah dengan Masyarakat Nelayan itu yang didasari asas kekeluargaan, dan sedikit memberikan rasa keadilan kepada masyarakat nelayan yang dapat menikmati secara langsung dana bantuan dari kompensasi tersebut dari dampak aktifitas KIP Timah yang beroperasi di perairan laut Bangka Belitung, walaupun kita ketahui bersama hasil pengelolaan sumber daya alam berupa bijih/pasir timah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia, namun tidak kita pungkiri tidak semua rakyat/masyarakat yang menikmati hasilnya, demikian juga halnya dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) tidak semua menyentuh lapisan masyarakat di Bangka Belitung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.